Our Feeds

Flickr

Blogger news

Senin, 17 Agustus 2015

Tofik Nurochman

Oleh Oleh Dari Kampung

Senja itu ribuan umat islam menunggu penantian yang sempurna untuk merayakan hari kemenangan, tidak berbeda halnya seperti yang rasakan. Gelombang asa menyelimuti hati seiring detak jantung yang menjadi tonggak kehidupan. Dooaar itulah suara yang terdengar sebagai tanda munculnya titik kesempurnaan penantian umat islam, suara petasan susul - menyusul menggema dimana mana.

suara petasan terus menggelegar sahut menyahut menambah nuansa indah di senja itu, nuansa yang penuh kebahagian setelah penantian dengan perjuangan yang begitu berat, perjuangan menahan lapar dalam puasa serta meningkatkan iman dan takwa kepada yang maha kuasa.

Hingar bingar penuh keceriaan menyelimuti wajah ribuan umat islam yang menyambut hari kemenangan itu, dari yang tua, muda, sampai anak-anak turut menyambut hari kemenangan dengan penuh kegembiraan, “mann sholat maghrib dulu jangan duduk terus” teriakan wanita paruh baya membangunkanku dalam lamunan menikmati nuansa hari kemenangan,

‘Inggih buu” sahut ku sembari bangkit berjalan menuju mushola dekat rumah ku.

“Allohhu akbarr” berkali-kali takbir itu terdengar dari toa mushola kecil dekat rumahku, ustad kecil berbadan kurus dengan suara indahnya terus melantunkan takbir itu di balik keramaian umat islam menantikan tiba waktunya sholat maghrib, orang tua, muda-mudi mulai berdatangan dengan wajah penuh semangat tuk meramaikan sholat jama’ah di mushola anak kecil pun turut ngga ketinggalan datang dengan berbagai cerita penuh tawa yang mereka ceritakan bersama teman sebayanya sambil memainkan bermacam petasan.

Sungguh indah nuansa senja itu, takbir terkumandang dimana-mana saling sahut-menyahut, suara bedug yang di tabuh dengan berbagai lantunan nada riuh menggema memecahkan asa, di tambah bunyi petasan yang terus menggelagar bak nyanyian petir dalam kegembiraan.

kala itu aku duduk termangu di teras mushola menyaksikan asiknya anak kecil bermain petasan, nampak dari kejauahan di bawah remang-remang lampu jalanan rombongan muda-mudi datang dengan membawa berbagai macam alat musik tradisional, ada yang membawa kentongan, bedug kecil dari kulit sapi yang sudah mulai usang, ada juga yang membawa galon maupun botol bekas, mereka berjalan beriringan sambil bernyanyi menyerukan takbir sembari terus memainkan alat musik yang mereka bawa. “ayuk mann ikut takbir kliling ?” panggil salah satu pemuda dari rombongan itu ketika mereka sampai di depan mushola tempat aku duduk termangu. Tanpa aku sadari pemuda yang memanggil ku adalah sagon, dia adalah temen akrab ku sejak kecil, namun setelah lulus SD kami berpisah karena keluarga sagon pergi ke sumtra untuk merantau dan aku pergi untuk melanjutkan sekolah ku di kota pelajar Jogjakarta, aku dan sagon dulu berteman sangat akrab layaknya seorang dalam keluarga, hampir tiap hari pergi main bersama dari berangkat sekolah selalu bareng, nyuri jambu tetangga sampai mandi di kali pun selalu bersama. Dan kini pertemuan pertama ku dengan dia setelah berpisah 6 tahun yang lalu, kami duduk-duduk di teras mushola bersama rombongan saling bertanya kabar dan bertukar pengalaman, kian lama kami duduk-duduk saling bercerita bersenda tawa mengingat kejadian masa lalu yang bernah kami alami bersama sambil menikmati buah jambu yang di bawah oleh salah seorang dari rombongan itu, aku pun tertarik ajakan mereka untuk ikut takbir keliling bersama dan kami pun turut mendiskusikan rute yang akan kami lewati untuk takbir keliling, ketika sudah mencapai kesepakatan dan mau berangkat aku malah kebingungan karena tidak mempunyai alat musik seperti yang teman-teman bawa, tapi itu tak mengurungkan niat ku untuk ikut takbir kliling bersama yang tak pernah aku rasakan sebelumya, hanya tepuk tangan yang bisa aku lakukan berpadu dengan gemuruh suara alat musik yang teman-temanku mainkan untuk mengiringi takbir yang kami teriakan.
Baca Juga: Membangun Peradaban Kutim Melalui Madrasah Diniyah
“Allohu akbar, Allohhu akbar, Allohu akbar walilla hilhamdu” itulah takbir yang kami teriakan dengan di iringi lantunan alat musik seadanya sembari terus menyusuri jalan setapak yang sedikit gelap karena tidak ada lampu penerangan jalan, walaupun gelap dan licin tapi itu tidak menyurutkan semangat kami untuk terus meneriakan takbir dan memainkan alat musik yang kami bawa. Terkadang kami juga bertemu dengan rombongan lain yang turut meramaikan malam kemenangan itu, senang bertabur dalam suka cita nampak dari wajah semua orang dalam rombongan menghapus semua lelah, haus, lapar yang seolah tak kami rasakan meski kami sudah lama berjalan menyusuri jalan-jalan kampung, tepat jam 9 malam kami sampai di mushola tempat kami berdiskusi tadi, rasa lelah, letih, dan haus memaksa kami untuk menyudahi takbir kliling itu, ku rebahkan tubuh ini atas teras mushola dengan terangan lentera yang begitu remang sembari menikmati minuman es. Senda gurau, canda tawa tak ada habisnya terus bergerumung mengikuti gerombolan ini, BERSAMBUNG...

Subscribe to this Blog via Email :
Previous
Next Post »