Oleh: Mukhtar (Ketua Garda Bangsa Kutim)
Pada era globalisasi dan desentralisasi sekarang ini pertumbuhan serta perkembangan sebuah daerah di semua sektor semakin pesat, tiap-tiap daerah mau-tidak mau dituntut untuk bersaing dengan daerah-daerah lain agar tidak menjadi daerah yang tertinggal. Dalam konteks pembangunan, pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam penentu kemajuan sebuah bangsa, karena
majunya sebuah bangsa ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada. Menurut Sudjana, pendidikan menjadi hal yang sangat penting peranannya dalam menentukaan nasib sebuah bangsa, karena dengan meningkatkan kualitas pendidikan pada gilirannya akan meningkatkan sumber daya manusia (S. Sudjana: 2000).
Dalam membangun, Indonesia sendiri merupakan salah satu bangsa yang menaruh harapan besar terhadap pendidikan demi perkembangan masa depan bangsa ini. Hal ini terlihat jelas dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang menyatakan bahwa wewenang terbesar bidang pendidikan ada di tangan pemerintah daerah, baik menyangkut pendanaan maupun kebijakan strategis di bidang kurikulum. Tidak hanya itu, pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU Sisidiknas, juga menekankan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD.
Begitu pentingnya peranan pendidikan, maka seyogyanya jika sebuah daerah ingin maju, pendidikan menjadi salah satu prioritas pembangunan, tidak saja hanya pendidikan formal, melainkan pendidikan non formal seperti Taman Pendidikan Alquran (TPA), Madrasah Diniyah dan sebagainya juga menjadi prioritas. Namun sayang, di sebagian daerah, khususnya di Kutai Timur prioritas pembangunan pendidikan khususnya non formal seperti TPA/Madrasah Diniyah kurang mendapat perhatian, pasalnya di akhir-akhir ini, hamppir setengah tahun yang lalu misalnya insentif guru ngaji TPA/Madrasah Diniyah belum terbayarkan, belum lagi soal pemenuhan sarana prasarana pendukung pembelajaran yang kurang diperhatikan.
Tak ayal mungkin inilah salah satu penyebab karakter generasi bangsa merosot dan kenakaln remaja makin meningkat, khususnya di Kutai Timur, misalnya saja pada tahun 2015, diambil dari media online terkemuka di Kaltim, menunjukkan sebuah data hasil dari evaluasi Disdik Kutim menunjukkan 50 persen siswa SMP di Sangatta Selatan pernah mengkonsumsi narkoba jenis double L (sumber: http://bontang.prokal.co, edisi 27 Oktober 2015). Tidak hanya itu penggunaan dan peredaran narkoba di Kutim kian memprihatinkan, bahkan menjadi urutan ketiga terbesar pengguna narkoba se-Kaltim (http://bontang.prokal.co, edisi 29 Oktober 2017), belum lagi yang akhir-akhir ini sering ditemukan bungkus-bungkus obat batuk dengan skala banyak, yang diduga dioplos dengan minuman lain untuk menjadi stimulus halusinasi remaja, dan mungkin banyak kasus-kasus kenakalan remaja lainnya yang tidak mengemuka ke publik. Kenakalan-kenakalan remaja tersebut tentunya menjadi PR besar bagi pembangunan sebuah daerah karena pada dasarnya jika sebauh daerah ingin maju, maka diawali dari Sumber Daya Manusianya yang produktif dan mempunyai karakter yang baik.
Begitu mengkhawatirkannya kasus kenakalan remaja di Kutim, tentunya ini menjadi perhatian semua pihak, baik pemerintah daerah, aparat keamanan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan masyarakat secara luas. Menurut Poespowardojo (1989: 6) diperlukan suatu dasar yang kokoh sebagai landasan berpijak dalam segala kegiatan yang dilaksanakannya, yaitu suatu orientasi yang mampu memberikan arah yang jelas serta ukuran yang wajib ditaati, yang memberikan makna dan arti bagi upaya tersebut sehingga dapat dinilai sebagai baik, layak, dan luhur, untuk dapat memberikan kritik dan evaluasi terhadap realitas faktual yang disodorkan melalui sense-data. Sementara menurut Moh. Toriqul Chaer dalam Muaddib (2016: 198), sebagai sebuah pegangan hidup yang mengandung ajaran tentang tata nilai, agama memberikan motivasi hidup dan penghidupan serta merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting dan berfungsi sebagai penentu dalam perkembangan dan pembinaan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu agama perlu diketahui, dipahami, diyakini dan diamalkan oleh manusia Indonesia agar dapat menjadi dasar kepribadian sehingga menjadi manusia yang utuh.
Dan menurut penulis, langkah yang paling tepat untuk mengatasi kenakalan remaja agar tidak “menjangkit” ke generasi penerusnya adalah memotong mata rantai kenakalan, salah satunya melalui maksimalisasi peran pendidikan non formal seperti TPA/Madrasah Diniyah. Karena keberadaan Diniyah, selain mengajarkan tentang nilai-nilai keimanan juga dibarengi dengan pendidikan karakter, misalnya tentang adab, akhlak dan sebagainya. Selain itu juga, keberadaan Diniyah juga menjadi alternatif untuk mengisi kesibukan anak di luar jam sekolah dengan hal yang positif dan memberi nilai hingga tidak terjerumus pada pergaulan “bebas”.
Namun sayang, keberadaan Madrasah Diniyah/TPA belum menjadi prioritas pembangunan oleh pemerintah Kutai Timur, pasalnya hari ini banyak Madrasah Diniyah yang lepas dari perhatian pemerintah, ditambah lagi menurut beberapa orang guru mengaji yang tidak mau disebutkan namanya, beberapa bulan sebelumnya tidak menerima insentif sebagai stimulus penyemangat dalam mengajar. Maka poin yang paling penting untuk memutus rantai kenakalan adalah pemerintah harus hadir dan “berpihak” pada pendidikan non formal seperti Madrasah Diniyah melalui kekuasaan dan kebijakannya. Dengan hadirnya pemerintah dalam pembangunan karakter melalui Madrasah Diniyah, tentunya lambat laun akan menciptakan generasi yang produktif dan berkarakter sebagai generasi pembangun peradaban.
Sumber: terasbangsa.com